Selasa, 25 Juni 2013

KALIAN DAN BURAM GERHANA




Burung – burung bersorak kabarkan keheranan.

di bawah trembesi perantau menyaksikan



Disitu kau duduk merajut tembang

yang sempat berkelana jauh

hampir tak kembali.

Tidak Cuma lagu, dari situ sajak lahir,

dari cerita cahaya gelombang laut

yang membias buramkan gerhana,

serta penunggu di dermaga,

tempat sua kalian

untuk menghancurkan sisa – sisa naif

dan keraguan langkah.





Syarif Wadja bae. Juni 2011

Patah di ujung lidah


Tuangkan saja pada mulut subuh
jika kau lelah dan tak mau rubuh
oleh catatan singkat yang menggunung memanas di tubuh hatimu yang hampir runtuh

Dia belum bisa merajut benang dalam kepal kalbumu.
agar tak lagi berunding tentang musim yang telah purna di mata kalian
maka keluarlah dari stempel yang menginjak dirimu.
ini bukan kisah sepotong musim tapi ini adalah kata yang patah di ujung lidah

Bila kau bilang jaman yang menjadi sebab dari perbedaan,
kau sama saja pecundang yang hilang arah dalam petamu sendiri.
ayo tuangkan, kalau perlu muntahkan saja semua di mulut subuh ini, Saudaraku


Syarif Wadja Bae
Jumat, 01 April 2011

Buntu


Aku lihat lima potong rasa dalam kepalamu.
Kau benturkan pada kata-kata.
Seperti selambar daun yang berharap segera punah ditengah jernihnya telaga.

Kau sukar temui sunyi dalam diam yang kau paksakan.
Sulit Mencari mekar aksara. Menjadi angan dan menyisakan angin,
lalu hilang tanpa sedikitpun bisa kau baca sendiri.

Kadang kau berkaca pada layang-layang dimendungnya siang namun pecah oleh hujan.

Puisimu tenggelam di benak.
Dan kau lupa mencuri tinta dalam detak dadamu


Syarif Wadja Bae
Akhir Maret 2011

Oase Keruh



Bagai oase keruh
Sekumpul kolosal kubiarkan didalam kepala
Terjal tandus dengan tikungan menukik bisu bersama jutaan palsu


Secarik kertas bertinta merah melayang kemana - mana
Masuk hingga pelosok ketakutan ratusan Kakek Nenek bahkan ibu ibu di pedalaman


Didepan televisi seorang aktifis kampung mengumpat,
"Bajingan... Pengalihan isu lagi... Hati mereka benar-benar disampul uang."


Syarif Wadja Bae
Sabtu, 19 Maret 2011

Jalan Baru


Jika Kunang-kunang muncul malam ini,
aku ingin kau menangkapnya.
Masukan diantara lingkar lengan saat kau memelukku,
agar kita paham cerita malam ini
karena aku telah melewati senja tadi seperti tanpa mata.

Aku tahu gapai tangan dan cara langkahmu
sehingga aku tak mau memintamu memetik lavender di taman bulan,
karena ku yakin tak sampai

Kali ini coba aku diam,
dalam hening yang sepi,
dalam harapan terang kunang-kunang dalam lingkar lengan kita,
untuk saling membaca, selanjutnya pelan-pelan kita buka jalan baru.

Membuka jalan baru lebih baik
daripada melewati jalan yang lika-likunya itu-itu saja.
Jangan kerutkan dahi bila lelah pada jalan baru ini.
Rebahlah disamping Kunang-kunang
sambil membaca dengan nama Tuhanmu hingga lelap.
Saat pagi membuka pintunya,
segar nafas embun membungkus angan hatimu melewati jalan baru dengan senyum gemilang


Syarif Wadja Bae
Kamis, 17 Maret 2011

Kepada Penghitung Pahala


Kini sajakku masuk dalam hening siang simalakama.
Ah, mungkin itu perasaanku saja.
Sebenarnya aku melihat bintangmu berpayung hitam
sedang berada dalam iba dan penyesalan.

Cinta kita bagai kegilaan benalu pada melati.
Atau mungkin orgasme semut karena gula.
Hah, kau lelah karena sering menghitung pahala.
Dan kau tidak sadar ada yg selalu bertengger di kedua pundakmu.
Lalu pelan-pelan tangan kirimu mulai menulis cerita kebencian tentang tangan kananmu.

Sementara kami menikmati setiap pencarian,
karena kami yakin indah akan hadir dari perdebatan tentang apa yang sudah kami temukan.
Dan senyum pun selalu membungkus di setiap akhir tetes keringat kami,
ada kala juga air mata pencapaian.
Karena itu kesetiaan melekat di jiwa kami.

Kau benalu yg terlalu mengagungkan melati,
kau tak mampu menjaga harum dan indah imut mekarnya,
Hingga naif melekat dalam ruang licikmu yang selalu kau andalkan.
Kau telah menjadi penghitung pahala yg sia-sia.

Syarif Wadja Bae.

Minggu, 06 Maret 2011

Nol


Daun kering.
Debu usang.
Besi tua.
Merinding.
Karena jutaan nyawa bersolawat untukmu.
Terimakasih wahai Al-Mustofa



Senin, 14 Februari 2011